Ada seorang laki – laki yang tinggal di dekat sebuah sungai. Bulan – bulan musim penghujan sudah dimulai.
Hampir tidak ada hari tanpa hujan baik hujan rintik-rintik maupun hujan lebat.
Pada suatu hari terjadi bencana di daerah tersebut. Karena hujan
turun deras agak berkepanjangan, permukaan sungai semakin lama semakin
naik, dan akhirnya terjadilah banjir.
Saat itu banjir sudah sampai ketinggian lutut orang dewasa. Daerah
tersebut pelan-pelan mulai terisolir. Orang – orang sudah banyak yang
mulai mengungsi dari daerah tersebut, takut kalau permukaan air semakin
tinggi.
Lain dengan orang-orang yang sudah mulai ribut mengungsi, lelaki
tersebut tampak tenang tinggal dirumah. Akhirnya datanglah truk
penyelamat berhenti di depan rumah lelaki tersebut.
“Pak, cepat masuk ikut truk ini, nggak lama lagi banjir semakin tinggi”, teriak salah satu regu penolong ke lelaki tersebut.
S lelaki menjawab: “Tidak, terima kasih, anda terus saja menolong
yang lain. Saya pasti akan diselamatkan Tuhan. Saya ini kan sangat rajin
berdoa.”
Setelah beberapa kali membujuk tidak bisa, akhirnya truk tersebut melanjutkan perjalanan untuk menolong yang lain.
Permukaan air semakin tinggi. Ketinggian mulai mencapai 1.5 meter. Lelaki tersebut masih di rumah, duduk di atas almari.
Datanglah regu penolong dengan membawa perahu karet dan berhenti di depan rumah lelaki tersebut.
“Pak, cepat kesini, naik perahu ini. Keadan semakin tidak terkendali. Kemungkinan air akan semakin meninggi.
Lagi-lagi laki-laki tersebut berkata: ” Terima kasih, tidak usah
menolong saya, saya orang yang beriman, saya yakin Tuhan akan selamatkan
saya dari keadaan ini.
Perahu dan regu penolongpun pergi tanpa dapat membawa lelaki tersebut.
Perkiraan banjir semakin besar ternyata menjadi kenyatan. Ketinggian
air sudah sedemikian tinggi sehingga air sudah hampir menenggelamkan
rumah-rumah disitu. Lelaki itu nampak di atas wuwungan rumahnya sambil
terus berdoa.
Datanglah sebuah helikopter dan regu penolong. Regu penolong melihat
ada seorang laki-laki duduk di wuwungan rumahnya. Mereka melempar tangga
tali dari pesawat. Dari atas terdengar suara dari megaphone: ” Pak,
cepat pegang tali itu dan naiklah kesini. “, tetapi lagi-lagi laki-laki
tersebut menjawab dengan berteriak:”Terima kasih, tapi anda tidak usah
menolong saya. Saya orang yang beriman dan rajin berdoa. Tuhan pasti
akan menyelamatkan saya.
Ketinggian banjir semakin lama semakin naik, dan akhirnya seluruh rumah di daerah tersebut sudah terendam seluruhnya.
Bagaimana nasib lelaki tersebut?
Lelaki tersebut akhirnya mati tenggelam.
Di akhirat dia dihadapkan pada Tuhan. Lelaki ini kemudian mulai
berbicara bernada protes:”Ya Tuhan, aku selalu berdoa padamu, selalu
ingat padamu, tapi kenapa aku tidak engkau selamatkan dari banjir itu?”
Tuhan menjawab dengan singkat: “Aku selalu mendengar doa-doamu, untuk
itulah aku telah mengirimkan Truk, kemudian perahu dan terakhir pesawat
helikopter. Tetapi kenapa kamu tidak ikut salah satupun?
Sebuah cerita menarik. Demikian juga dalam kehidupan kita, kita
bekerja dan selalu melakukan doa kepada Allah s.w.t. Dan Allah sudah
sering mengirimkan “truk”, “perahu”, dan “pesawat” kepada kita, tapi
kita tidak menyadarinya.
(Tidak Diketahui)
Ada sebuah syarikat besar yang sedang mencari pekerja. Dalam ujian bertulisnya, mereka hanya memberikan satu kes untuk dijawab:
“Anda sedang memandu motosikal di tengah malam gelap gelita dan hujan
lebat di sebuah daerah yang penduduknya sedang dipindahkan semuanya
kerana bencana banjir. Pemerintah setempat hanya boleh memberikan
bantuan sebuah bas yang saat ini juga sedang mengangkut orang-orang ke
kota terdekat. Saat itu juga Anda melewati sebuah perhentian bas di
kawasan itu. Di perhentian bas itu, Anda melihat 3 orang yang merupakan
orang terakhir di kawasan itu yang sedang menunggu kedatangan bas:
* seorang nenek tua yang sakit
* seorang doktor yang pernah menyelamatkan hidup Anda sebelumnya
* seseorang yang selama ini menjadi idaman hati Anda
Anda hanya boleh mengajak satu orang untuk membonceng Anda. Siapakah
yang akan Anda ajak? Dan, jelaskan jawaban Anda mengapa Anda melakukan
itu!”
Sebelum Anda menjawab, ada beberapa hal yang perlu Anda pertimbangkan:
- Seharusnya Anda menolong nenek tua itu dulu kerana dia sudah tua
dan sakit. Jika tidak segera ditolong akan meninggal. Namun, kalau
difikir-fikir, orang yang sudah tua memang sudah mendekati ajalnya.
Sedangkan yang lainnya masih sangat muda dan harapan hidup ke depannya
masih panjang.
- Doktor itu pernah menyelamatkan hidup Anda. Inilah saat yang tepat
untuk membalas budi kepadanya. Tapi, kalau difikir, kalau sekadar
membalas budi, waktu lain boleh juga kan? Namun, kita tidak pernah tahu
bila kita akan mendapatkan kesempatan itu lagi.
- Mendapatkan idaman hati adalah hal yang sangat menyeronokkan. Jika
kali ini Anda tidak ambil peluang, mungkin Anda tidak akan ketemu dia
lagi. Dan, impian Anda akan kandas selamanya.
Jadi yang mana yang Anda pilih?
Dari sekitar 2000 orang pemohon, hanya 1 orang yang diterima bekerja
di perusahaan tersebut. Orang tersebut tidak menjelaskan jawabannya,
hanya menulis dengan singkat:
“Saya akan memberikan kunci motorsikal saya kepada sang doktor dan
meminta dia untuk membawa nenek tua yang sedang sakit tersebut untuk
ditolong segera. Sedangkan saya sendiri akan tinggal di sana dengan sang
idaman hati saya untuk menunggu ada yang kembali menolong kami.”
Ya, jawaban di atas adalah jawapan yang terbaik bukan? Tapi, kenapa
sebahagian besar hal tersebut tidak kita fikirkan sebelumnya? Apakah
kerana kita terbiasa dengan tidak mahu untuk melepaskan apa yang sudah
kita dapatkan di tangan dengan susah payah? Dan, bahkan berusaha meraih
sebanyak-banyaknya?
Terkadang …, dengan rela untuk melepaskan sesuatu yang kita miliki,
melepaskan kedegilan kita, mengakui segala kekurangan yang kita miliki
dan melepaskan semua keinginan kita untuk sesuatu yang lebih mulia, kita
akan mendapatkan sesuatu yang jauh lebih besar.
(Tidak Diketahui)
Seorang anak mengeluh pada ayahnya tentang hidupnya yang sulit. Ia
tidak tahu lagi harus berbuat apa dan ingin menyerah saja. Ia lelah
berjuang. Setiap saat satu persoalan terpecahkan, persoalan yang lain
muncul.
Ayahnya, seorang juru masak, tersenyum dan membawa anak perempuannya
ke dapur. Ia lalu mengambil tiga buah panci, mengisinya masing-masing
dengan air dan meletakkannya pada kompor yang menyala. Beberapa saat
kemudian air dalam panci-panci itu mendidih. Pada panci pertama, ia
memasukkan wortel. Lalu, pada panci kedua ia memasukkan telur. Dan, pada
panci ketiga ia memasukkan beberapa biji kopi tumbuk. Ia membiarkan
masing-masing mendidih.
Selama itu ia terdiam seribu bahasa. Sang anak menggereget gigi, tak
sabar menunggu dan heran dengan apa yang dilakukan oleh ayahnya. Dua
puluh menit kemudian, sang ayah mematikan api. Lalu menyiduk wortel dari
dalam panci dan meletakkanya pada sebuah piring. Kemudian ia mengambil
telur dan meletakkanya pada piring yang sama. Terakhir ia menyaring kopi
yang diletakkan pada piring itu juga.
Ia lalu menoleh pada anaknya dan bertanya, “Apa yang kau lihat, nak?”
“Wortel, telur, dan kopi, ” jawab sang anak. Ia membimbing anaknya
mendekat dan memintanya untuk memegang wortel. Anak itu melakukan apa
yang diminta dan mengatakan bahwa wortel itu terasa lunak.
Kemudian sang ayah meminta anaknya memecah telur. Setelah telur itu
dipecah dan dikupas, sang anak mengatakan bahwa telur rebus itu kini
terasa keras.
Kemudian sang ayah meminta anak itu mencicipi kopi. Sang anak
tersenyum saat mencicipi aroma kopi yang sedap itu. “Apa maksud semua
ini, ayah?” tanya sang anak.
Sang ayah menjelaskan bahwa setiap benda tadi telah mengalami hal
yang sama, yaitu direbus dalam air mendidih, tetapi selepas perebusan
itu mereka berubah menjadi sesuatu yang berbeda-beda. Wortel yang semula
kuat dan keras, setelah direbus dalam air mendidih, berubah menjadi
lunak dan lemah.
Sedangkan telur, sebaliknya, yang semula mudah pecah, kini setelah direbus menjadi keras dan kokoh.
Sedangkan biji kopi tumbuh berubah menjadi sangat unik. Biji kopi, setelah direbus, malah mengubah air yang merebusnya itu.
Maka, yang manakah dirimu?” tanya sang ayah pada anaknya. “Di saat
kesulitan menghadang langkahmu, perubahan apa yang terjadi pada dirimu?
Apakah kau menjadi sebatang wortel, sebutir telur atau biji kopi?”
(Tidak Diketahui)
Pada hari pernikahanku, aku membopong istriku. Mobil pengantin
berhenti didepan flat kami yg cuma berkamar satu. Sahabat-sahabatku
menyuruhku untuk membopongnya begitu keluar dari mobil. Jadi kubopong ia
memasuki rumah kami. Ia kelihatan malu-malu. Aku adalah seorang
pengantin pria yg sangat bahagia. Ini adalah kejadian 10 tahun yg lalu.
Hari-hari selanjutnya berlalu demikian simpel seperti secangkir air
bening : Kami mempunyai seorang anak, saya terjun ke dunia usaha dan
berusaha untuk menghasilkan banyak uang. Begitu kemakmuran meningkat,
jalinan kasih diantara kami pun semakin surut. Ia adalah pegawai sipil.
Setiap pagi kami berangkat kerja bersama-sama dan sampai dirumah juga
pada waktu yg bersamaan. Anak kami sedang belajar di luar negeri.
Perkawinan kami kelihatan bahagia. Tapi ketenangan hidup berubah
dipengaruhi oleh perubahan yg tidak kusangka-sangka, Dew hadir dalam
kehidupanku.
Waktu itu adalah hari yg cerah. Aku berdiri di balkon dengan Dew yg
sedang merangkulku. Hatiku sekali lagi terbenam dalam aliran cintanya.
Ini adalah apartemen yg kubelikan untuknya.
Dew berkata, “kamu adalah jenis pria terbaik yg menarik para gadis.”
Kata-katanya tiba-tiba mengingatkanku pada istriku. Ketika kami baru
menikah, istriku pernah berkata, “Pria sepertimu, begitu sukses, akan
menjadi sangat menarik bagi para gadis.” Berpikir tentang ini, Aku
menjadi ragu-ragu. Aku tahu kalau aku telah menghianati istriku. Tapi
aku tidak sanggup menghentikannya.
Aku melepaskan tangan Dew dan berkata, “kamu harus pergi membeli
beberapa perabot, O.K.?.Aku ada sedikit urusan dikantor”. Kelihatan ia
jadi tidak senang karena aku telah berjanji menemaninya. Pada saat
tersebut, ide perceraian menjadi semakin jelas dipikiranku walaupun
kelihatan tidak mungkin.
Bagaimanapun, aku merasa sangat sulit untuk membicarakan hal ini pada
istriku. Walau bagaimanapun ku jelaskan, ia pasti akan sangat
terluka.Sejujurnya ia adalah seorang istri yg baik. Setiap malam ia
sibuk menyiapkan makan malam. Aku duduk santai didepan TV. Makan malam
segera tersedia. Lalu kami akan menonton TV sama-sama. Atau aku akan
menghidupkan komputer, membayangkan tubuh Dew. Ini adalah hiburan
bagiku.
Suatu hari aku berbicara dalam guyon, “seandainya kita bercerai, apa
yg akan kau lakukan? ” Ia menatap padaku selama beberapa detik tanpa
bersuara. Kenyataannya ia percaya bahwa perceraian adalah sesuatu yg
sangat jauh dari dirinya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana ia akan
menghadapi kenyataan jika tahu bahwa aku serius.
ketika istriku mengunjungi kantorku, Dew baru saja keluar dari
ruanganku. Hampir seluruh staff menatap istriku dengan mata penuh
simpati dan berusaha untuk menyembunyikan segala sesuatu selama
berbicara dengannya. Dia kelihatan sedikit curiga. Dia berusaha
tersenyum pada bawahan-bawahanku. Tapi aku membaca ada kelukaan di
matanya.
Sekali lagi, Dew berkata padaku,”He Ning, ceraikan ia, O.K.? Lalu
kita akan hidup bersama.” Aku mengangguk. Aku tahu aku tidak boleh
ragu-ragu lagi. Ketika malam itu istriku menyiapkan makan malam, aku
memegang tangannya. “Ada sesuatu yg harus kukatakan”.
Ia duduk diam dan makan tanpa bersuara. Sekali lagi aku melihat ada
luka dimatanya. Tiba-tiba aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi ia tahu
kalau aku terus berpikir. “Aku ingin bercerai”, ku ungkapkan topik ini
dengan serius tapi tenang.
Ia seperti tidak terpengaruh oleh kata-kataku,tapi ia bertanya secara
lembut,”kenapa?” “Aku serius.”Aku menghindari pertanyaannya. Jawaban
ini membuat ia sangat marah. Ia melemparkan sumpit dan berteriak
kepadaku, “Kamu bukan laki-laki!”.
Pada malam itu, kami sekali saling membisu. Ia sedang menangis. Aku
tahu kalau ia ingin tahu apa yg telah terjadi dengan perkawinan kami.
Tapi aku tidak bisa memberikan jawaban yg memuaskan sebab hatiku telah
dibawa pergi oleh Dew.
Dengan perasaan yg amat bersalah, aku menuliskan surai perceraian
dimana istriku memperoleh rumah, mobil dan 30% saham dari perusahaanku.
Ia memandangnya sekilas dan mengoyaknya jadi beberapa bagian. Aku
merasakan sakit dalam hati. Wanita yg telah 10 tahun hidup bersamaku
sekarang menjadi seorang yg asing dalam hidupku. Tapi aku tidak bisa
menarik kembali apa yg telah kuucapkan.
Akhirnya ia menangis dengan keras didepanku, dimana hal tersebut
tidak pernah kulihat sebelumnya. Bagiku, tangisannya merupakan suatu
pembebasan untukku. Ide perceraian telah menghantuiku dalam beberapa
minggu ini dan sekarang sungguh-sungguh telah terjadi.
Pada larut malam, aku kembali ke rumah setelah menemui klienku. Aku
melihat ia sedang menulis sesuatu. Karena capek aku segera ketiduran.
Ketika aku terbangun tengah malam, aku melihat ia masih menulis. Aku
tertidur kembali. Ia menuliskan syarat-syarat dari perceraiannya : ia
tidak menginginkan apapun dariku, tapi aku harus memberikan waktu
sebulan sebelum menceraikannya, dan dalam waktu sebulan itu kami harus
hidup bersama seperti biasanya. Alasannya sangat sederhana : Anak kami
akan segera menyelesaikan pendidikannya dan liburannya adalah sebulan
lagi dan ia tidak ingin anak kami melihat kehancuran rumah tangga kami.
Ia menyerahkan persyaratan tersebut dan bertanya,” He Ning, apakah
kamu masih ingat bagaimana aku memasuki rumah kita ketika pada hari
pernikahan kita? Pertanyaan ini tiba-tiba mengembalikan beberapa
kenangan indah kepadaku. Aku mengangguk dan mengiyakan. “Kamu
membopongku dilenganmu”, katanya, “jadi aku punya sebuah permintaan,
yaitu kamu akan tetap membopongku pada waktu perceraian kita. Dari
sekarang sampai akhir bulan ini, setiap pagi kamu harus membopongku
keluar dari kamar tidur ke pintu.” Aku menerima dengan senyum. Aku tahu
ia merindukan beberapa kenangan indah yg telah berlalu dan berharap
perkawinannya diakhiri dengan suasana romantis.
Aku memberitahukan Dew soal syarat-syarat perceraian dari istriku. Ia
tertawa keras dan berpikir itu tidak ada gunanya. “Bagaimanapun trik yg
ia lakukan, ia harus menghadapi hasil dari perceraian ini,” ia
mencemooh Kata- katanya membuatku merasa tidak enak.
Istriku dan aku tidak mengadakan kontak badan lagi sejak kukatakan
perceraian itu. kami saling menganggap orang asing. Jadi ketika aku
membopongnya dihari pertama, kami kelihatan salah tingkah. Anak kami
menepuk punggung kami,”wah, papa membopong mama, mesra sekali”.
Kata-katanya membuatku merasa sakit. Dari kamar tidur ke ruang duduk,
lalu ke pintu, aku berjalan 10 meter dengan dirinya dalam lenganku. Ia
memejamkan mata dan berkata dengan lembut,”mari kita mulai hari ini,
jangan memberitahukan pada anak kita.” Aku mengangguk, merasa sedikit
bimbang. Aku melepaskan ia di pintu. Ia pergi menunggu bus, dan aku
pergi ke kantor.
Pada hari kedua, bagi kami terasa lebih mudah. Ia merebah di dadaku,
Kami begitu dekat sampai-sampai aku bisa mencium wangi di bajunya. Aku
menyadari bahwa aku telah sangat lama tidak melihat dengan mesra wanita
ini. Aku melihat bahwa ia tidak muda lagi. Beberapa kerut tampak di
wajahnya.
Pada hari ketiga, ia berbisik padaku, “kebun diluar sedang dibongkar.
Hati-hati kalau kamu lewat sana.” Hari keempat,ketika aku
membangunkannya, aku merasa kalau kami masih mesra seperti sepasang
suami istri dan aku masih membopong kekasihku dilenganku.
Bayangan Dew menjadi samar.
Pada hari kelima dan keenam, ia masih mengingatkan aku beberapa hal,
seperti dimana ia telah menyimpan baju-bajuku yg telah ia setrika, aku
harus hati-hati saat memasak, dll. Aku mengangguk. Perasaan kedekatan
terasa semakin erat.
Aku tidak memberitahu Dew tentang hal ini. Aku merasa begitu ringan
membopongnya. Berharap setiap hari pergi ke kantor bisa membuatku
semakin kuat. Aku berkata padanya, “kelihatannya tidaklah sulit
membopongmu sekarang”
Ia sedang mencoba pakaiannya, aku sedang menunggu untuk membopongnya
keluar. Ia berusaha mencoba beberapa tapi tidak bisa menemukan yg cocok.
Lalu ia melihat, “semua pakaianku kebesaran”. Aku tersenyum. Tapi
tiba-tiba aku menyadarinya, sebab ia semakin kurus, itu sebabnya aku
bisa membopongnya dengan ringan bukan disebabkan aku semakin kuat. Aku
tahu ia mengubur semua kesedihannya dalam hati. Sekali lagi, aku
merasakan perasaan sakit.
Tanpa sadar ku sentuh kepalanya. Anak kami masuk pada saat tersebut.
“Pa, sudah waktunya membopong mama keluar.” Baginya, melihat papanya
sedang membopong mamanya keluar menjadi bagian yg penting. Ia memberikan
isyarat agar anak kami mendekatinya dan merangkulnya dengan erat. Aku
membalikkan wajah sebab aku takut aku akan berubah pikiran pada detik
terakhir. Aku menyanggah ia dilenganku, berjalan dari kamar tidur,
melewati ruang duduk ke teras. Tangannya memegangku secara lembut dan
alami. aku menyanggah badannya dengan kuat seperti kami kembali ke hari
pernikahan kami. Tapi ia kelihatan agak pucat dan kurus, membuatku
sedih.
Pada hari terakhir, ketika aku membopongnya dilenganku, aku melangkah
dengan berat. Anak kami telah kembali ke sekolah. Ia berkata,
“sesungguhnya aku berharap kamu akan membopongku sampai kita tua.” Aku
memeluknya dengan kuat dan berkata “antara kita saling tidak menyadari
bahwa kehidupan kita begitu mesra”.
Aku melompat turun dari mobil tanpa sempat menguncinya. Aku takut
keterlambatan akan membuat pikiranku berubah. Aku menaiki tangga. Dew
membuka pintu. Aku berkata padanya,” Maaf Dew, aku tidak ingin bercerai.
Aku serius”.
Ia melihat kepadaku, kaget. Ia menyentuh dahiku. “Kamu tidak demam.”
Kutepiskan tanganya dari dahiku. “Maaf Dew, aku cuma bisa bilang maaf
padamu, aku tidak ingin bercerai. Kehidupan rumah tanggaku membosankan
disebabkan ia dan aku tidak bisa merasakan nilai-nilai dari kehidupan,
bukan disebabkan kami tidak saling mencintai lagi. Sekarang aku mengerti
sejak aku membopongnya masuk ke rumahku, ia telah melahirkan anakku.
Aku akan menjaganya sampai tua. Jadi aku minta maaf padamu”.
Dew tiba-tiba seperti tersadar. Ia memberikan tamparan keras kepadaku
dan menutup pintu dengan kencang dan tangisannya meledak. Aku menuruni
tangga dan pergi ke kantor.
Dalam perjalanan aku melewati sebuah toko bunga. Ku pesan sebuah
buket bunga kesayangan istriku. Penjualnya bertanya apa yg mesti ia
tulis dalam kartu ucapan? Aku tersenyum dan menulis : “Aku akan
membopongmu setiap pagi sampai kita tua.”
Seorang pemuda duduk termenung memikirkan masa depannya. Bertanya –
Tanya seperti apa masa depan dan bagaimana cara untuk memperolehnya.
Merasa tidak dapat menemukan jawabannya dia pun berdiri dan mulai
berjalan. Dia berjalan ke taman dan kemudian melihat seorang kakek tua
yang sedang duduk di atas sebuah kursi taman, dan dia pikir bahwa kakek
itu mungkin dapat memberikan jawaban atas apa yang ingin diketahuinya,
dia berpikir bahwa kakek itu tentu sudah jauh melangkah dan telah
melihat masa depan secara nyata dengan umurnya yang sudah lanjut. Dengan
perlahan dia berjalan menghampiri dan menyapa sang kakek, kemudian
duduk disebelah sang kakek. Merasa yakin akan menemukan jawabannya
diapun memulai pembicaraan.
kakek tentu telah melewati banyak hal, kakek tentu telah melihat masa
depan dari masa muda kakek, kalau saya boleh tahu, apa itu masa depan
dan bagaimana cara untuk memperolehnya? Jujur saya binggung akan masa
depan saya
Sambil tersenyum kakek tersebut menjawab Saya juga pernah muda
seperti kamu, pada saat masa muda, saya juga merasa bingung akan masa
depan saya dan bagaimana memperolehnya. Dulu saya cenderung berpikir
akan masa depan saya, akibatnya saya selalu khawatir dan membuang waktu
hanya untuk memikirkannya. Sampai saya sadar bahwa masa depan bukanlah
hal yang perlu dikhawatirkan, melainkan masa sekarang.
bukankah masa depan adalah hal yang penting dan harus di pikirkan dari sekarang?
kamu benar, masa depan adalah hal yang penting. Tapi pernahkah
terpikir oleh mu, kita mengkhawatirkan masa depan, satu hal yang belum
pasti, sedangkan kita melupakan masa sekarang. Tanpa kita sadari bahwa
sesungguhnya masa depan itu sendiri tidak pernah ada, dan apa yang di
sebut oleh banyak orang dengan masa depan sesungguhnya adalah masa
sekarang
Mengapa kakek dapat berkata demikian?
Menurut mu apakah mungkin akan ada masa depan tanpa masa sekarang?
Bukankah masa depan adalah buah dari masa sekarang? Seumur hidup saya
sampai sekarang akhirnya saya benar – benar sadar bahwa masa sekarang
adalah masa depan saya, karena itu saya bertindak sebaik – baiknya dan
berusaha untuk melakukan yang terbaik untuk hari ini.
Satu hal yang perlu kita semua sadari, masa depan takkan pernah ada
tanpa adanya hari ini, dan masa depan bukanlah masa yang akan datang
melainkan hari ini. Berpikir dan bertindaklah untuk masa sekarang,
karena masa depan adalah hasil dari hari ini. Kebanyakan dari i kita
selalu melihat jauh ke depan, memikirkan dan takut akan suatu yang belum
pasti. Kita harus sadar bahwa pikiran tanpa perbuatan tidak pernah akan
menghasilkan masa depan. Satu hal yang juga tidak boleh terlupa, apa
yang kita dapat di masa mendatang adalah akibat dari hari ini, menanam
kebencian akan menuai kebencian, menanam kebaikan akan menuai kebaikan,
karena itu berpikirlah sebelum bertindak. Bagaimana mungkin memiliki
masa depan yang baik, jika masa sekarang pun tidak dapat kita pikirkan,
bina dan jalani dengan baik?
Apakah kamu masih binggung akan masa depan mu? Bagaimana cara memperolehnya?
(Hong Kosan)
Alkisah, hiduplah sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan
dua orang anak laki-laki (sebut saja si-Sulung dan si-Bungsu). Pada
suatu hari, sang Ayah mendadak sakit keras dan diprediksi sudah
mendekati ajalnya. Menyadari akan hal ini, sang Ayah pun segera
memanggil kedua anak laki-lakinya si-Sulung dan si-Bungsu.
Sesudah mereka berdua bersimpuh didekat Ayah berbaring, sang Ayah pun
menyatakan permintaannya kepada mereka : “Kalian berdua harus berjanji
kepada Ayah……, bahwa setelah Ayah meninggal dunia nanti, kalian berdua
harus menepati 2 pesan terakhir Ayah”. Sambil terisak tangis dan suasana
hati yang tidak karuan, Sulung dan Bungsu pun hanya dapat
manggut-manggut melihat kondisi Ayahnya yang semakin kritis.
Begini kira-kira kedua pesan Ayahnya itu:
“PERTAMA, kalian harus berjanji kepada Ayah, bahwa setelah Ayah
meninggal nanti, kalian berdua TIDAK BOLEH MENAGIH PIUTANG kepada
siapapun”. Tidak ada tindakan lain dari Sulung maupun Bungsu dalam
menanggapi pesan PERTAMA Ayahnya itu selain mengatakan IYA KAMI BERJANJI
dan menganggukkan kepala meski perasaan bingung menghinggapi kedua Anak
tersebut.
“KEDUA, kalian berdua harus berjanji kepada Ayah, bahwa setelah Ayah
meninggal nanti, kalian berdua TIDAK BOLEH TERKENA SINAR MATAHARI SECARA
LANGSUNG”. Semakin bingung-lah mereka terhadap permintaan Ayahnya.
Tetapi sekali lagi keadaan lah yang memaksa mereka berdua untuk
mengatakan IYA KAMI BERJANJI dan menganggukkan kepala.
Akhirnya, sesuai dengan rencana sang Ayah pun meninggal dunia dengan
tenang karena telah menyatakan pesannya kepada kedua Anaknya. Prosesi
pemakaman pun berlangsung dan kehidupan harus terus berjalan, karena
baik Sulung maupun Bungsu memiliki Wirausaha yang harus dijalankan
sebagai sandaran hidup.
Hari berganti hari, Minggu berganti minggu, Bulan dan Tahun. Tidak
terasa 5 tahun telah berlalu sejak kematian sang Ayah. Disinilah mulai
tampak perbedaan yang sangat mencolok antara Sulung dan Bungsu. Sang Ibu
sebagai orang di “Tengah” pun tanggap akan hal ini. Perbedaan yang
paling nyata adalah soal EKONOMI / KEUANGAN. Sang Ibu merasa iba kepada
nasib si-Bungsu yang ekonominya sangat amburadul dan boleh dikatakan
mulai Gulung Tikar. Sebaliknya, sang Ibu pun bangga kepada nasih
si-Sulung yang boleh dibilang sangat sukses dalam bidang ekonomi.
Tergelitik rasa penasaran, iba dan bangga yang bercampur jadi satu,
sang Ibu pun mengunjungi si-Bungsu untuk menanyakan perihal nasibnya:
“Wahai Bungsu, mengapa nasib mu sedemikian malangnya anakku ???”.
Si Bungsu pun menjawab:
“Ini karena saya menuruti 2 pesan wasiat Ayah. PERTAMA, SAYA DILARANG
MENAGIH PIUTANG KEPADA SIAPAPUN. Sedangkan teman, kolega, client, dll
tidak berniat untuk mengembalikan hutang mereka jika tidak ditagih,
sehingga lama-kelamaan habislah modal saya Ibu. KEDUA, Ayah melarang
saya untuk KENA SINAR MATAHARI SECARA LANGSUNG, itulah sebabnya pergi
dan pulang dari Toko, saya selalu menggunakan jasa Taxi, karena saya
hanya memiliki sepeda motor, sehingga modal saya lama-kelamaan habis
Ibu”.
Melihat malangnya nasih Bungsu, sang Ibu pun menghibur dengan mengatakan :
“ENGKAU MEMANG ANAK YANG BERBAKTI, KARENA ENGKAU MENJAGA JANJIMU KEPADA AYAH”.
Kemudian berkunjunglah sang Ibu ke kediaman Sulung. Kali ini suasana
berubah 180 derajat. Si Sulung adalah orang yang kaya raya dan sangat
makmur ekonominya. Penasaran, sang Ibu pun menanyakan perihal nasibnya :
“Wahai Sulung, mengapa nasibmu sedemikian beruntung anakku ???”.
Si Sulung pun menjawab: “Ini karena saya menuruti 2 pesan wasiat Ayah”.
Sang Ibu pun keheranan akan jawaban Sulung dan menanyakan dengan rasa penasaran yang tinggi,
“kok bisa begitu ???”.
Sulung pun menjawab :
“PERTAMA, SAYA DILARANG MENAGIH PIUTANG KEPADA SIAPAPUN, oleh karena itu
SAYA TIDAK PERNAH MEMBERIKAN HUTANG KEPADA SIAPAPUN, sehingga modal
saya tetap. KEDUA, SAYA DILARANG KENA SINAR MATAHARI SECARA LANGSUNG,
karena saya hanya memiliki sepeda motor, maka saya berangkat ke Toko
pagi-pagi benar sebelum matahari terbit, dan pulang dari Toko malam
benar setelah matahari terbenam, sehingga SEMUA CUSTOMER SAYA TAHU BAHWA
TOKO SAYA BUKA PALING PAGI & TUTUP PALING MALAM, sehingga Toko saya
diserbu banyak pelanggan”.
Sang Ibu pun keheranan penuh kekaguman akan jawaban dari si-Sulung.
Selama ini anda selalu memerankan karakter Sulung/ Bungsu ???
Semoga bermanfaat untuk menghadapi persoalan hidup apapun. Anda hanya tinggal memilih …… Sulung ……….. atau ……………. Bungsu.
(Tidak Diketahui)
Selalu, saya akan tenggelam dalam luasnya danau di keriput garis
mata wanita itu; garis yang berkisah tentang kesabaran, perjuangan
hidup, penderitaan dan pengorbanan serta maaf. Menelusuri peta yang ada
di wajahnya, saya tak pernah tersesat dalam membaca atau mencari sebuah
kota bernama: keikhlasan. Kali ini, saya berusaha menyusun kepingan
kesabaran dan danau maaf yang ada padanya dari sebuah drama kecil yang
meluruhkan air mata saya pada akhir Februari 2003 lalu, di sebuah
bangsal kelas II Rumah Sakit Umum Giriwono, Wonogiri.
Tubuh renta wanita itu melangkah ragu, mungkin beberapa bagian
disebabkan perjalanan sekitar dua jam dengan memakai bus. Ia memang
hampir selalu mabuk dalam perjalanan semacam itu kendati hanya dalam
bilangan jam.
“Mbah…!” suaranya bergetar saat berada di ambang pintu.
Nanap, ia menatap sesosok tubuh yang tergolek di atas tempat tidur
dengan berbagai selang; infus, bantuan pernapasan, dan saluran
pembuangan… Laki-laki yang tergolek itu membalas tatapnya, menahan
sejenak, lantas pelan-pelan dialihkan ke tempat lain. Ada sedu tertahan,
sesak dalam dada.
“Bagaimana, Mbah?” kembali sapa wanita itu seraya mendekat dan meraba kening si lelaki.
“Yang sakit bagian mana?” lanjutnya.
Tangannya membelai kening lelaki itu dan turun ke telinganya. Lelaki
itu telah dua hari dirawat di rumah sakit karena penyakit stroke. Tubuh
bagian kanannya lumpuh. Lemah, tangan kiri si lelaki berusaha meraih
tangan wanita itu, menggenggamnya lama, tetap dengan mata menghindari
bertatap dengannya. Ada kepundan yang bergolak-golak di sana dan tangis
yang enggan dipurnakan.
Wanita itu tak lain adalah bekas istri dari lelaki yang kini tergolek
tersebut. Lebih dua puluh tahun sudah keduanya berpisah. Sangat sah bagi
si wanita itu apabila ia membenci bekas suaminya. Begitu banyak luka
menganga yang ditinggalkan lelaki itu dalam perjalanan hidup yang ia
alami. Sebelum resmi berpisah, suaminya menelantarkan dirinya berikut
anak-anaknya. Suaminya lantas menikah dengan wanita lain, memenuhi istri
mudanya dengan kekayaan dan kebahagian, sedangkan wanita ini
terlunta-lunta memperjuangkan hidup yang ingin ia menangkan. Ya, nyaris
tak ada apa pun yang diberikan suaminya selain penderitaan. Ia bukan
resmi dicerai di PA, karena itu ia masih menjadi istri jika
sewaktu-waktu suaminya pulang atau bertandang. Selalu tak ada apa-apa
yang di bawa lelaki itu selain perselisihan atau kekesalan pada istri
mudanya dan si wanita akan menerimanya dengan sabar. Tapi, selalu
begitu, setelah ia kembali mengandung, suaminya akan segera pergi
kembali pada istri muda-nya, dan kembalilah ia berjuang terlunta-lunta
dengan janin dalam kandungan. Tercatatlah, sembilan anak terlahir dari
rahimnya, seorang di antaranya meninggal karena kekurangan air susu.
ASI-nya tidak keluar oleh karena nyaris tak ada makanan layak yang ia
konsumsi. Di lain waktu, pernah selama beberapa minggu ia -berikut
anak-anaknya- tidak makan nasi. Tidak ada beras tersisa. Kendati
suaminya hidup berkecukupan bahkan boleh dibilang kaya, – saat itu,
suaminya menjabat kepala desa ia tak hendak meminta, apalagi menuntut.
Untuk bertahan hidup, ia dan anak-anaknya memakan daun-daunan yang
direbus dengan campuran sedikit beras hasil utang. Jika waktu makan
tiba, ia kumpulkan anak-anak, duduk melingkar memutari kuali tanah
berisi bubur daun-daunan tersebut dengan masing-masing memegang satu
piring. Lantas, pada piring masing-masing dituang bubur encer terebut.
Sungguh jauh dari cukup, apalagi rasa kenyang. Sementara… suami dan
istri mudanya sekaligus anak-anak mereka makan dengan kenyang dan
berlebihan.
Jika malam tiba, gubuk reot yang ia huni itu penuh rebak dengan
cerita. Wanita ini gemar sekali mendongeng untuk anak-anaknya;
satu-satunya hiburan yang bisa ia berikan pada anak-anak. Dengan sebuah
lentera kecil yang berkedip-kedip ditiup angin, ia mendongeng Timun Mas,
Kepel, Lutung Kasarung, Roro Mendut-Pronocitro,
Minakjinggo-Kenconowungu, dan sekian lagi dongeng yang ia kreasi
sendiri. Anak-anaknya mendengarkan dengan mata berbinar-binar.
Kadang-kadang pula ia mengajarkan tembang-tembang dolanan yang menjadi
senandung riang pembawa semangat anak-anaknya. Sambil bercerita itu,
tangannya tak henti bekerja, kadang-kadang sampai larut malam; menganyam
tikar pandan pesanan tetangga, mengupas singkong, oncek dhele, prithil
kacang, pipik jagung.. pekerjaan-pekarjaan khas para petani yang darinya
ia peroleh upah tak seberapa. Lantas, sementara ia terus mendongeng,
satu persatu anak-anaknya terlelap di atas tikar yang berlubang dan
bertambal-tambal di sana-sini. Setelah anak-anaknya tertidur, serentak,
wajahnya yang semula berbinar-binar tanpa duka itu meredup. Ia menatap
anak-anaknya yang tidur dengan mulut menganga dan perut berkeriut.
Napasnya cekat. Tanpa permisi, air mata berbondong-bondong keluar oleh
tindihan rasa nelangsa. Ya.. di saat yang sama, suami dan istri mudanya
berikut anak-anak mereka terlelap di atas kasur dengan selimut hangat
dan perut kekenyangan. Dirinya masih harus merunut malam yang jauh. Dia
tak berpikir akan bertahan hidup, tapi ia tak akan mengakhiri sendiri
dengan bodoh. “Saya tak percaya saya masih hidup sampai hari ini,”
ujarnya bertahun-tahun setelah itu. Yang ada dalam pikirannya adalah
‘hidup dan bertahan’. Ia harus menyelesaikan semua itu dengan cara-cara
pahlawan. Dengan menjadi buruh tani, ia terus mengais. Pekerjaan itu
nyaris tak menjanjikan apa-apa. Tak jarang, ia bekerja di sawah suaminya
sendiri sebagai buruh dengan upah yang tidak lebih besar dari buruh
yang lain, bahkan cenderung lebih kecil.
Entah, bagaimana ia mampu menjalani semua itu. Lantas, satu per satu
anaknya lulus sekolah. Yang pertama menyelesaikan SMP, yang kedua
bertahan hanya sampai SD, sedangkan yang ketiga tak mampu menyelesaikan
pendidikan terendah sekalipun kendati justru ia anak paling cerdas di
antara anak-anaknya yang lain. Bersama, ketiga anak ini memutuskan
merantau ke Jakarta. Tentu saja tak begitu ada harapan bekerja di tempat
yang nyaman. Ketiganya.. menjadi pembantu. Tapi, kendati sedikit,
ketiganya mulai bisa mengirim uang untuk orang tua dan adik-adiknya.
Begitulah, wanita ini telah mengatur rupiah dengan begitu cermat. Ia
bahkan tak menyentuh uang-uang kiriman itu, tapi kesemuanya digunakan
untuk membiayai sekolah lima anaknya yang lain. Cukup ajaib, kelima
anaknya tersebut berhasil menamatkan jenjang SLTA.
Hari-hari lesap ke bulan dan bulan tenggelam dalam tahun. Seperti
hidupnya, waktu tidak berhenti berjalan. Satu per satu anaknya lulus,
bekerja.. dan menikah. Biaya sekolah tidak melulu ditanggung anak
pertama, tetapi selalu demikian.. setiap ada yang lulus dan mulai
bekerja, ia bertugas melanjutkan estafet amanah itu. Lagi-lagi,
keajaiban dan bukti bahwa Tuhan Maha kasih, empat dari anak-anaknya
tersebut lulus tes menjadi pegawai negeri sipil, sebuah pekerjaan yang
cukup bergengsi untuk ukuran daerahnya. Saat sekolah pun, rata-rata
mereka mendapat beasiswa atau keringanan biaya sebagai kompensasi dari
prestasi yang diraih.. atau minimal menjadi juara kelas. Namanya pun
menjadi legenda di masyarakatnya bahwa anak-anaknya maupun cucu-cucunya
pasti cerdas dan sukses. Bolehlah dikatakan begitu. Untuk ukuran orang
seperti dirinya, tentulah apa yang ada sekarang ini merupakan sukses
yang tidak terbilang. Masing-masing anaknya di Jakarta telah memiliki
hunian yang layak -kendati kecil-, anak pertamanya malah berhasil masuk
tes PNS di Mabes Polri kendati hanya dengan ijazah SMP. Anak-anaknya pun
nyaris semua cukup disegani di lingkungannya, hal mana tidak demikian
dengan anak-anak suaminya dari istri mudanya.
Tahun 2002, rumah yang ia huni yang dibangun anak-anaknya pada tahun
1988, ambruk. Kondisinya memang telah reot. Anak-anaknya bukan tidak
tahu, tapi mereka tidak memperbaikinya dalam kurun yang cukup lama itu
disebabkan mereka dilarang oleh sang ayah -suami dari wanita ini- untuk
memperbaiki. Laki-laki itu mungkin hatinya terbuat dari batu, tak juga
bisa belajar dari kejadian-kejadian yang ia alami. Tahun 1988, saat anak
terakhir dari istrinya berusia 10 tahun, ia kembali terpikat wanita
lain; seorang janda muda dari kampung sebelah. Karena tak bisa menikah
resmi, keduanya – entahlah, mungkin nikah di bawah tangan – tinggal
serumah. Kali ini, wanitanya tak ‘sebaik’ dan sesabar’ dua istrinya
terdahulu. Hartanya habis dalam bilangan tahun. Dan.. empat tahun
kemudian, jabatannya sebagai kepala desa berakhir. Hidup dengan
sisa-sisa kejayaan masa lalu, wanita muda ini tidak bertahan. Ia memilih
pergi meninggalkan si lelaki yang kini tak lagi bisa mencukupi
kebutuhannya.
Lantas, seperti roda.. hidup berputar. Allah terus memperjalankan
takdirnya yang tak terkata namun bagian dari hal paling tetap dan
niscaya. Bukan karma. Lelaki ini menjalani hidupnya sendiri, menjadi
buruh tani karena sawahnya telah habis terjual – dan tinggal di
kesunyian rumahnya: tanpa anak dan istri. Sementara istrinya – si wanita
ini – mulai merasai kebahagiaan dari hidup yang lebih layak, riang
dipenuhi jeritan manja cucu-cucu dan rengekan mereka. Maka, meradanglah
si lelaki saat anak-anaknya berniat membangun sebuah rumah untuk ibunya
karena rumah yang kemarin rubuh. Tak hanya fitnah, teror pun
dilangsungkan. Anak-anaknya tak menyerah, tetap berusaha membangun rumah
itu karena memang sudah tidak bisa ditunda lagi. Dulu mereka
menahan-nahan niat tersebut selama bertahun-tahun, dan sekarang tak bisa
lagi.
Tersebutlah, di suatu malam, si wanita – istrinya yang telah
ditelantarkan itu – mendengar suara berisik ayam-ayam di kandang.
Berjingkat, ia membuka pintu belakang rumah. Masih sempat sekilas ia
melihat suaminya menaburkan sesuatu di sudut luar rumah. Kendati dalam
remang, ia masih bisa mengenali bahwa sosok itu adalah suaminya.
Paginya, tiba-tiba ia lumpuh. Tubuhnya lemah dan tak bisa berdiri.
Orang-orang menduga itu teluh. Setelah dirawat beberapa saat di RS,
alhamdulillah ia sembuh. Teror tak berhenti. Suaminya, secara terbuka,
mendoakan agar kayu-kayu rumahnya keropos dimakan rayap. Dan doanya
terkabul, tapi kali ini bukan pada rumah si wanita, melainkan rumahnya
sendiri. Beberapa waktu kemudian ia mengancam akan membakar rumah itu,
dan sekali lagi, rencana itu kendati bukan dia – terlaksana. Juga
bukan pada rumah si wanita, melainkan rumahnya sendiri. Karena lupa
memadamkan api di tungku, rumah belakangnya terbakar. Itu semua belum
berakhir. Dalam kesendirian yang diliputi rasa dengki dan iri, ia
mendoakan agar si wanita ini diserang penyakit. Dan lagi.. doanya
terkabul, juga bukan untuk si wanita, tapi untuk dirinya sendiri.
Tiba-tiba, orang-orang menemukan lelaki itu tak bisa bicara dan sebelah
tubuhnya lumpuh. Ia terserang stroke untuk pertama kali yang sekaligus
masuk dalam stadium kritis. Anak-anaknya membawanya ke rumah sakit.
Dan.. kejadian hari itu adalah bak sebuah drama nyata. Sebuah babak yang
luar biasa indah saat si wanita -dengan langkah ragu dan bergetar,
sebagian oleh sisa perjalanan yang membuatnya mabuk darat-menjenguk
bekas suaminya yang tergolek di rumah sakit. Ada pancaran iba dan kasih
yang tulus saat ia meraba, mengusap, dan bertanya tentang kabar dengan
terbata-bata. Mesra sekali saat ia memijit kaki lelaki itu.
“Piye rasane, Mbah?” tanyanya dengan panggilan mesra.
Mbah? Aduhai, nyaman sekali. Saat belum punya anak, ia memanggil
lelaki ini dengan sebutan ‘Kakang,’ saat sudah punya anak dengan sebutan
‘Pak’, dan saat telah dianugerahi cucu demikian banyak, ia memanggilnya
‘Mbah’
Gemetar, tangan kiri lelaki ini – karena tubuh bagian kanannya
lumpuh-menggenggam tangan renta yang mengusap keningnya, seakan ia
menikmati belaian lembut tersebut dan menahannya sesaat agar jangan
terlalu cepat sirna. Kendati pandangannya dibuang ke sisi lain
menghindari wajah – bekas-istrinya ini, ia tak bisa mengingkari ada
lautan maaf dan cinta yang telah menggelombanginya. Melihatnya, saya tak
kuasa menahan isak. Seperti lelaki itu, tangis saya cekat di
kerongkongan sementara air mata sudah berbondong-bondong menitik tanpa
bisa dicegah lagi. Sesak sekali dada saya oleh rasa haru yang
menekan-nekan.
Ya.. melihat wanita ini, saya seperti tenggelam dalam laut kesabaran.
Dan.. dialah wanita tercantik yang pernah saya jumpai di dunia ini.
Dia.. tak lain adalah ibu saya. Ya Tuhan.. ampunilah dosanya, maafkanlah
kesalahannya dan kasihilah dia sebagaimana ia mengasihi kami dalam suka
dan duka.
Malam 1 Juni 03
Kenangan dan doa untuk Bundaku, orang paling berharga dalam hidupku.
(Tidak Diketahui)
Betapa hebatnya waktu mengatur kita. Ketika loceng jam hari kerja
berdering, tanpa diperintah segera kita berkemas. Menyimpan kertas dan
pensil dalam laci, lalu meninggalkannya jauh-jauh. Seolah semua
persoalan telah terpecahkan untuk hari itu. Padahal masalah tetap
terjaga selagi kita pejamkan mata.
Namun, esok hari, ketika lonceng jam kerja mulai berdentang, semua
tumpukan masalah kita aduk, seolah ia terlampau banyak tidur semalam.
Perselisihanpun bolehlah dilanjutkan kembali. Ah, betapa hebatnya waktu
menghibur kita. Betapa bergairahnya waktu membangunkan kita.
Ketika kita mengatur waktu, sesungguhnya kita pun mengatur fikiran,
mengatur emosi, dan mengatur perasaan kita. Kerana waktu adalah
lingkaran dimana kehidupan kita berjalan, kita atur waktu untuk mengatur
kehidupan.
Kita rayakan sesuatu kerana kita berjaya ciptakan hari besar. Kita
heningkan diri kerana kita tegakkan kesyahduan. Dan, semua itu kita
rangkai dalam jalinan waktu. Maka, hanya mereka yang tak kenal akan
waktulah yang terjerat dalam persoalan tiada berhujung. Waktu tidak
berhujung hinggalah hari pembalasan. Namun selepas itu juga waktu masih
belum tahu penghujungnya.
Kredibiliti adalah sesuatu yang sangat berharga. Sekali kredibiliti
telah hilang, akan sangat sukar untuk diperoleh kembali. Tanpa
kredibiliti, adalah mustahil untuk memelihara dan mencapai suatu
kejayaan. Perhatikan dalam lingkungan yang penuh ketidak percayaan dan
prasangka, hanya sedikit yang dapat dicapai seseorang.
Janji dan komitmen bukan sekadar alat. Jauh lebih penting, keduanya
adalah apa yang kita perlukan untuk membangun ataupun menghancurkan
kredibiliti. Oleh itu, kita harus memilih komitmen apa yang mampu kita
berikan, dan janji apa yang mampu kita tepati.
Sebuah kredibiliti yang kuat dan nyata, boleh membawa anda maju. Oleh
kerana itu berhati-hatilah terhadap kredibiiti. Jangan korbankan itu
demi kepentingan seketika. Berkatalah jujur, hormati komitmen anda, dan
anda akan mampu meraih apa yang sekarang anda miliki atau atau tidak
mampu anda mimpikan.
Saya Tidak Tahu.
Menjadi cerdas, tidak berarti mengetahui segala jawaban. Kadang1,
jawaban paling cerdas yang anda dapat katakan adalah “Saya tidak tahu”.
Diperlukan rasa percaya diri dan kecerdasan extra untuk mengakui
ketidaktahuan anda. Dan saat anda melakukannya, anda sedang dalam proses
mempelajari jawaban yang sebenar.
Seringkali, kerana alasan kebanggaan dan mencegah rasa tidak selesa,
kita mengatakan tahu, padahal kita tidak tahu. Dgn cara ini, kita telah
menyia-nyiakan kesempatan untuk belajar lebih lanjut. Percayalah, tidak
ada salahnya anda tidak mengetahui suatu hal.
Bahagian penting dari kebijaksanaan adalah mengetahui batas
pengetahuan anda. Mengetahui apa yang anda tahu dan apa yang anda tidak
tahu. Orang yang benar-benar cerdas adalah orang yang tahu dan mengerti,
bahawa tak semua pertanyaan dapat ia jawab. Orang yang benar-benar
cerdas, adalah orang yang mau bertanya, mau belajar, mau meningkatkan
diri.
Gunakan pengetahuan yang anda miliki, dan miliki pengetahuan yang
anda perlukan. Itu adalah jalan terbaik yang dapat anda tempuh.
(Tidak Diketahui)
Seperti biasa Rudi, kepala cabang di sebuah perusahaan swasta
terkemuka di Jakarta, tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidak seperti
biasanya, Imron, putra pertamanya yang baru duduk di kelas dua SD yang
membukakan pintu. Ia nampaknya sudah menunggu cukup lama.
“Kok, belum tidur?” sapa Rudi sambil mencium anaknya.
Biasanya, Imron memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari.
Sambil membuntuti sang ayah menuju ruang keluarga, Imron menjawab,
“Aku nunggu Ayah pulang. Sebab aku mau tanya berapa sih gaji Ayah?”
“Lho, tumben, kok nanya gaji Ayah? Mau minta uang lagi, ya?”
“Ah, enggak. Pengen tahu aja.”
“Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Ayah bekerja sekitar 10
jam dan dibayar Rp 400.000,-. Dan setiap bulan rata-rata dihitung 25
hari kerja, Jadi, gaji Ayah dalam satu bulan berapa, hayo?”
Imron berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar,
sementara ayahnya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Rudi
beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, Imron berlari
mengikutinya.
“Kalau satu hari ayah dibayar Rp 400.000,- untuk 10 jam, berarti satu jam ayah digaji Rp 40.000,- dong,” katanya.
“Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, bobok,” perintah Rudi.
Tetapi Imron tak beranjak.
Sambil menyaksikan ayahnya berganti pakaian, Imron kembali bertanya, “Ayah, aku boleh pinjam uang Rp 5.000,- nggak?”
“Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini? Ayah capek. Dan mau mandi dulu. Tidurlah.”
“Tapi, Ayah…” Kesabaran Rudi habis.
“Ayah bilang tidur!” hardiknya mengejutkan Imron.
Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya. Usai mandi, Rudi nampak
menyesali hardikannya, Ia pun menengok Imron di kamar tidurnya. Anak
kesayangannya itu belum tidur. Imron didapatinya sedang terisak-isak
pelan sambil memegang uang Rp 15.000,- di tangannya.
Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Rudi berkata,
“Maafkan Ayah, Nak. Ayah sayang sama Imron. Buat apa sih minta uang
malam-malam begini? Kalau mau beli mainan, besok’ kan bisa. Jangankan Rp
5.000,- lebih dari itu pun ayah kasih.”
“Ayah, aku nggak minta uang. Aku pinjam. Nanti aku kembalikan kalau sudah menabung lagi dari uang jajan selama minggu ini.”
“Iya, iya, tapi buat apa?” tanya Rudi lembut.
“Aku menunggu Ayah dari jam 8. Aku mau ajak Ayah main ular tangga.
Tiga puluh menit saja. Ibu sering bilang kalau waktu Ayah itu sangat
berharga. Jadi, aku mau beli waktu ayah. Aku buka tabunganku, ada Rp
15.000,-. Tapi karena Ayah bilang satu jam Ayah dibayar Rp 40.000,-,
maka setengah jam harus Rp 20.000,-. Duit tabunganku kurang Rp 5.000,-.
Makanya aku mau pinjam dari Ayah,” kata Imron polos.
Rudi terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat.
Saya tidak tahu apakah kisah di atas fiktif atau kisah nyata.
Tapi saya tahu kebanyakan anak-anak orang kantoran maupun wirausahawan
saat ini memang merindukan saat-saat bercengkerama dengan orang tua
mereka. Saat dimana mereka tidak merasa “disingkirkan” dan diserahkan
kepada suster, pembantu atau sopir. Mereka tidak butuh uang yang lebih
banyak. Mereka ingin lebih dari itu. Mereka ingin merasakan sentuhan
kasih-sayang Ayah dan Ibunya. Apakah hal ini berlebihan? Sebagian besar
wanita karier yang nampaknya menikmati emansipasi-nya, diam-diam
menangis dalam hati ketika anak-anak mereka lebih dekat dengan suster,
supir, dan pembantu daripada ibu kandung mereka sendiri. Seorang wanita
muda yang menduduki posisi asisten manajer sebuah bank swasta, menangis
pilu ketika menceritakan bagaimana anaknya yang sakit demam tinggi tak
mau dipeluk ibunya, tetapi berteriak-teriak memanggil nama pembantu
mereka yang sedang mudik lebaran.
(Tidak Diketahui)
Suatu ketika hiduplah seorang tua bijak. Pada suatu pagi,
datanglah seorang pemuda sedang dirudung banyak masalah. Langkahnya
gontai dan air mukanya ruwet. Tamu itu memang tampak seperti orang yg
tak bahagia. Tanpa membuang waktu orang itu langsung menceritakan semua
masalahnya.
Pak tua bijak hanya mendengarkan dengan seksama, lalu ia mengambil
segenggam serbuk pahit dan meminta anak muda itu untuk mengambil segelas
air.
Ditaburkannya serbuk pahit itu ke dalam gelas, lalu diaduknya perlahan.
“Coba minum ini dan katakan bagaimana rasanya”, ujar pak tua.
“Pahit, pahit sekali”, jawab tamu sambil meludah ke samping.
Pak tua itu sedikit tersenyum. Ia lalu mengajak tamunya ini untuk
berjalan ke tepi telaga di dalam hutan tempat tinggalnya. Kedua orang
itu berjalan berdampingandan akhirnya sampai ke tepi telaga yang tenang
itu. Pak tua itu kembali menaburkan serbuk pahit ke telaga itu, dan
dengan sepotong kayu ia mengaduknya.
“Coba ambil air dari telaga ini dan minumlah.”
Saat tamu itu mereguk air itu, Pak tua kembali bertanya lagi kepadanya, “Bagaimana rasanya?”
“Segar”, sahut tamu.
“Apakah kamu merasakan pahit di dalam air itu?” tanya pak tua.
“Tidak,” sahut tamu itu.
Dengan bijak pak tua itu menepuk punggung si anak muda, ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu.
“Anak muda, dengarlah : pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam
serbuk pahit, tak lebih tak kurang. Jumlah dan rasa pahitnyapun sama
dan memang akan tetap sama. Tetapi kepahitan yang kita rasakan sangat
tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu akan didasarkan
dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan
tergantung dari hati kita sendiri. Jadi saat kamu merasakan kepahitan
dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu yang kamu dapat lakukan,
lapangkanlah dadamu menerima semuanya itu, luaskanlah hatimu untuk
menampung setiap kepahitan itu.”
Pak tua itu lalu kembali menasehatkan : “Hatimu adalah wadah itu.
Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu adalah tempat kamu menampung
segalanya. Jadi jangan jadikan hatimu seperti gelas, buatlah laksana
telaga yang mampu menampung setiap kepahitan itu, dan merubahnya menjadi
kesegaran dan kebahagiaan.”
Keduanya lalu beranjak pulang, dan sama-sama belajar pada hari itu.
Dan pak tua, si orang bijak itu kembali menyimpan serbuk pahit, untuk
anak muda lain yang sering datang kepadanya membawa keresahan jiwa.